Selasa, 02 Juli 2019

MENDIRIKAN BANGUNAN DI ATAS KUBURAN DALAM PANDANGAN MADZHAB SYAFI’I

Masalah yang kian populer di kalangan masyarakat yakni perkara kijing, yakni melakukan pemugaran/ mendirikan bangunan di atas kubur. Kemudian dalam sebuah kitab bernama Manhaj al-Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-‘Aqidah karya Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqil hafizhahullah, seorang ulama Salafi asal Madinah, yang mana saya kaget akan isinya “merampas” perkataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah, (tulisan bergaris bawah):



Artinya, Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: ‘Dan aku menyukai agar kuburan tidak ditembok, karena itu identik dengan perhiasan dan keangkuhan, sementara kematian bukan tempat salah satu dari keduanya, dan saya tidak melihat kuburan kaum Muhajirin dan Anshar ditembok. Berkata seorang perawi dari Thawus bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membangun atau menembok kuburan. Dan saya telah melihat gubernur menghancurkan apa yang dibangun di dalam kubur di kota Makkah, sementara saya tidak melihat para ahli fiqh mencela hal tersebut”. 


Perhatikan! Sang penulis “tega” memutus fatwa Imam asy-Syafi’i rahimahullah tersebut “di tengah jalan”, tanpa mau menyempurnakannya. Atas dasar itulah, ada satu kelompok yang menyimpulkan bahwa Imam asy-Syafi’i rahimahullah melarang mendirikan bangunan di atas kuburan. Padahal fatwa Imam asy-Syafi’i rahimahullah di atas masih berlanjut, yakni,
وَقَدْ رَأَيْت مِنْ الْوُلَاةِ مَنْ يَهْدِمَ بِمَكَّةَ مَا يُبْنَى فِيهَا فَلَمْ أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذَلِكَ فَإِنْ كَانَتْ الْقُبُورُ فِي الْأَرْضِ يَمْلِكُهَا الْمَوْتَى فِي حَيَاتِهِمْ أَوْ وَرَثَتُهُمْ بَعْدَهُمْ لَمْ يُهْدَمْ شَيْءٌ أَنْ يُبْنَى مِنْهَا وَإِنَّمَا يُهْدَمُ إنْ هُدِمَ مَا لَا يَمْلِكُهُ أَحَدٌ فَهَدْمُهُ لِئَلَّا يُحْجَرَ عَلَى النَّاسِ مَوْضِعُ الْقَبْرِ فَلَا يُدْفَنُ فِيهِ أَحَدٌ فَيَضِيقُ ذَلِكَ بِالنَّاسِ
Artinya, Dan aku telah melihat salah seorang gubernur di Makkah menghancurkan (membongkar) bangunan yang dibangun di dalam kuburan, namun aku tidak melihat para ulama fikih mencela hal itu. Dan bila adanya kuburan itu di tanah milik si almarhum ketika hidupnya dulu atau milik ahli warisnya ketika ia wafat, maka tidak (boleh) ada suatu bangunan (di kuburan) pun yang dihancurkan. Namun sesungguhnya bangunan itu dihancurkan jika (tanah pemakaman) itu tidak ada seorang pun yang memilikinya, maka harus dihancurkan, hal itu dilakukan supaya tidak ada seorang pun yang dikuburkan di dalamnya, karena hal itu akan mempersulit orang lain (yang kelak akan menguburkan mayyit lain)”. [ Al-Umm: 1/316 ]

Nah, inilah fatwa beliau yang benar. Bahwa mendirikan bangunan di atas kubur itu tidak masalah, jikalau kuburannya berada di tanah milik si almarhum sendiri atau milik ahli waris dari si almarhum. Tapi jika kuburan itu bukan berada di atas 2 tanah di atas, maka wajib dihancurkan bangunannya.

Kemudian, fatwa beliau di atas ditegaskan kembali oleh Imam an-Nawawi rahimahullah,
قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللَّهُ وَلَا فَرْقَ فِي الْبِنَاءِ بَيْنَ أَنْ يَبْنِيَ قُبَّةً أَوْ بَيْتًا أَوْ غَيْرَهُمَا ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَتْ مَقْبَرَةً مُسَبَّلَةً حَرُمَ عَلَيْهِ ذَلِكَ قَالَ أَصْحَابُنَا وَيُهْدَمُ هَذَا الْبِنَاءُ بِلَا خِلَافٍ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَرَأَيْت مِنْ الْوُلَاةِ مَنْ يهدم ما بني فيها قال وَلَمْ أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ عَلَيْهِ ذَلِكَ وَلِأَنَّ فِي ذَلِكَ تَضْيِيقًا عَلَى النَّاسِ قَالَ أَصْحَابُنَا وَإِنْ كَانَ الْقَبْرُ فِي مِلْكِهِ جَازَ بِنَاءُ مَا شَاءَ مَعَ الْكَرَاهَةِ وَلَا يُهْدَمُ عَلَيْهِ
Artinya, “Para ulama madzhab Syafi’i -semoga Allah merahmati mereka-mengatakan: Dan tidak ada bedanya dalam hal apakah bangunan (di kuburan) itu berbentuk kubah atau rumah atau selain keduanya, kemudian dilihat terlebih dahulu. Jika bangunan tersebut ada pada pemakaman musabbalah, maka hukumnya itu haram. Para ulama madzhab Syafi’i berkata: Dan wajib merobohkan bangunan semacam itu tanpa ada khilaf (beda pendapat). Imam asy-Syafi’i berkata dalam kitab Al-Umm: ‘Dan aku telah melihat salah seorang gubernur di Makkah menghancurkan (membongkar) bangunan yang dibangun di dalam kuburan, namun aku tidak melihat para ulama fikih mencela hal itu’. Para ulama madzhab Syafi’i berkata: Bila kuburan itu berada di tanah milik pribadi, diperbolehkan membangun sesukanya, namun disertai dengan kemakruhan, serta tidak boleh dirobohkan bangunan tersebut”. [ Al-Majmu’ Syarhil Muhadzdzab: 5/298 ]

Apa itu kawasan pemakaman musabbalah

Imam al-Qalyubi rahimahullah mendefinisikan, 

قَوْلُهُ: (مُسَبَّلَةً) وَهِيَ مَا جَرَّتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالدَّفْنِ فِيهَا

Artinya, “Kata penulis ‘musabbalah’, yaitu tanah (kawasan) yang memang orang biasanya menguburkan mayyit di situ”. [ Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala Syarh al-Mahalli: 1/411 ]

Oleh karenya, yang dihukumi haram mendirikan bangunan ialah jika kuburan tersebut berada di kawasan musabbalah, yakni kawasan pemakaman umum yang biasanya orang-orang menguburkan mayyit di situ.

Kemudian ada keterangan tambahan dari Imam Zainuddin al-Malibari rahimahullah
وكره بناء له أي للقبر أو عليه لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل. ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه
Artinya, Dan hukumnya makruh membangun kuburan (jika) tanpa ada hajat misalnya takut dibongkar, atau takut dibongkar hewan buas, atau takut rusak oleh banjir, karena telah shahih larangan tentang hal itu. Makruhnya membangun kuburan ini jika di tanah milik sendiri. Adapun jika membangun kubur ini tanpa adanya hajat sebagai mana yang telah disebutkan, atau membangun kubah di kuburan yang berada di pemakaman umum, yaitu yang biasanya penduduk kampung menguburkan di situ, baik diketahui orang yang menyediakan makam tersebut ataupun tidak, atau di pemakaman yang diwaqafkan, maka haram hukumnya membangun kubur tersebut dan wajib dibongkar, karena menyebabkan bangunan itu langgeng (tetap) setelah hancurnya mayyit, serta ini dapat mempersempit kaum muslimin lainnya (yang kelak akan mengubur mayyit yang lain) tanpa ada tujuan (pembangunan) yang jelas sama sekali”. [ Fathul Mu’in bi Syarh Qurratul ‘Ain bi Muhimmat ad-Din: hal. 216 ]

Keterangan lain disampaikan oleh ulama besar Indonesia, Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah,
لَو كَانَ الْبناء فِي المسبلة لخوف نبش سَارِق أَو سبع أَو تخرق سيل جَازَ وَلَا يهدم
Artinya, “Bila terdapat bangunan (di atas kubur) berada di kawasan umum dikarenakan takut jenazahnya dicuri, atau dibongkar binatang buas, atau rusak karena banjir, maka hukumnya diperbolehkan, serta tidak dilarang menghancurkan bangunan itu”. [ Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in Syarh ‘ala Qurratul ‘Ain bi Muhimmat ad-Din: hal. 155 ]

Nah di sinilah semakin jelas, bahwa kebolehan ini ditambah syaratnya, selain di tanah milik si almarhum sendiri atau milik ahli warisnya sebagaimana dikatakan Imam asy-Syafi’i dan Imam an-Nawawi di atas, mendirikan bangunan ini diperbolehkan asalkan ada suatu hajat/ keperluan.

Pengecualian: Bila tiba-tiba di pemakaman umum ditemukan makam yang telah ada bangunan di atasnya. Jika yang bersangkutan dari pihak keluarga mayyit itu mempunyai suatu hajat sebagaimana yang disebutkan di atas, maka dilarang menghancurkan bangunan tersebut. Tapi bila tidak ada hajat/ tujuan sama sekali, maka hukumnya haram dan wajib dihancurkan.

Kesimpulannya:

[1]. Pelarangan dan keharaman pembangunan pada kuburan itu berlaku bila kuburannya berada di tanah/ kawasan pemakaman musabbalah, yakni kawasan umum yang biasanya orang-orang menguburkan di situ, atau kuburannya berada di tanah wakaf,

[2] Adapun jika pembangunannya itu di kuburan yang mana pada tanah milik orang tersebut itu sendiri ketika ia hidup, atau milik ahli warisnya ketika orang itu telah wafat, atau memang ada suatu hajat, seperti agar tidak diganggu hewan, atau agar tidak rusak karena banjir, maka hukumnya boleh meskipun disertai hukum makruh, yaitu makruh tanzih

[3] Namun dikecualikan jika ditemukan kuburan yang terbangun di pemakaman musabbalah/ umum karena alasan yang sama sebagaimana poin ke 2 di atas, maka hukumnya diperbolehkan dan tidak diperkenankan menghancurkan bangunan tersebut,

[4]. Hendaklah kita melakukan tabayyun/ klarifikasi terlebih dahulu terhadap ucapan-ucapan seorang ulama, dan tidak sepatutnya kita “merampas” ucapan itu semena-mena sehingga membuat pemahaman masyarakat dan umat menjadi “bengkok” dari pemahaman yang sebenarnya.

Wallahu A’lam Bishshawab






Senin, 01 Juli 2019

SIFAT SHALAT NABI: MERAPATKAN SHAF KETIKA SHALAT, PERLUKAH MENEMPELKANNYA?

Seringkali kita dapati beberapa orang dan beberapa artikel menyatakan bahwa yang namanya shaf rapat saat shalat ialah dengan menempelkan kaki dan bahu dengan orang di sebelahnya, benarkah demikian?

Mari perhatikan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berikut,

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Artinya, “Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, ‘Luruskan-lah shaf kalian, karena aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku’. Maka sesungguhnya aku melihat ada salah seorang dari kami yang menempelkan bahunya dengan bahu orang sebelahnya dan kakinya dengan kaki orang sebelahnya”. (HR. Al-Bukhari, [1:146, no. 725] dalam Shahihnya)

Kemudian dalam riwayat lain terdapat tambahan,

لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ، وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ

Artinya, “Saya telah melihat salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu temannya (orang yang di sebelahnya) dan kakinya dengan kaki temannya. Dan seandainya hari ini kami melakukan hal itu (menempelkan bahu dan kaki) lagi, sungguh kamu akan melihat salah satu dari mereka seperti keledai yang melawan (berontak)”. (HR. Abu Ya’la, [6:381, no. 3720] dalam Musnadnya).

Di situ sangat tegas bahwasanya orang-orang yang tetap bersikeras ingin sekali menempelkan kaki dengan kaki orang sebelahnya, maka akan membuat orang sebelahnya itu tidak nyaman, digambarkan sebagaimana keledai yang melawan/ berontak. Padahal perintah yang ditekankan sekaligus tujuan awalnya adalah agar shaf tersebut benar-benar lurus, tegak, dan seimbang. Sedangkan mengenai menempelkan dalam hadits itu, hanyalah mubalaghah (ungkapan hiperbolis/ majaz) yang tujuannya agar shaf dapat lurus dan mengisi celah, sehingga tidak ada kerenggangan. Demikian Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menjelaskan, 

بَابُ إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ) الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

Artinya, “Bab: Menempelkan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki dalam shaf; maksud dari hal itu (menempelkan bahu dan kaki) ialah sebagai mubalaghah (ungkapan hiperbolis) agar shaf dapat lurus dan mengisi celah (agar shaf tidak kosong)”. (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, [2:211])

Kemudian dalam riwayat yang lainnya bahwa Rasulullah bersabda, 

خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاةِ

Artinya, “Yang terbaik dari kalian adalah kalian lunakkan pundak-pundak kalian dalam shalat”. (HR. Abu Dawud, [2:11, no. 672] dalam Sunannya, Syaikh Syu’aib al-Arnauth menilai hadits hasan lighairihi).

Maksud melunakkan pundak dalam hadits itu bukan berarti harus saling menempelkan pundaknya dengan pundak orang di sebelahnya, melainkan maknanya ialah jangan sampai pundak kita berdesakan dengan pundak orang di sebelah kita, sehingga membuat orang itu sempit. Imam al-Munawi rahimahullah menjelaskan, 

أي ألزمكم للسكينة والوقار والخشوع والخضوع فيها فلا يلتفت ولا يحاشر منكبه منكب صاحبه

Artinya, “Yakni wajib bagi kalian untuk tenang, ber-besar hati,  khusyuk, dan rendah hati dalam shalat. Maka janganlah menoleh (dalam shalat) dan janganlah pundaknya sampai berdesakan dengan pundak temannya (orang sebelahnya)”. (Faidhul Qadir Syarh al-Jami’ush Shaghir, [3:466]).

Lebih-lebih dalam hadits lain, Rasulullah hanya memerintahkan agar shaf itu berdekatan saja, sekedar berdekatan, bukan sampai menempelkan kaki dan bahu,

رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

Artinya, “Rapatkan shaf-shaf kalian dan dekatkanlah di antaranya, serta sejajarkanlah antara leher-leher. Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya saya melihat setan dapat masuk ke dalam celah-celah shaf itu, tak ubahnya bagai al-Hadzaf”. (HR. Abu Dawud, [2:9, no. 667] dalam Sunannya, Syaikh Syu’aib al-Arnauth menilai sanadnya shahih).

Apa itu al-Hadzaf? 

Imam al-Khaththabi rahimahullah mengatakan, 

والحذف غنم سود صغار

Artinya, “Al-Hadzaf ialah anak kambing yang kecil”. (Ma’alimus Sunan, [1:184]).

Maksud hadits, dalam perkara shaf ini, Rasulullah memerintahkan kepada kita agar shaf itu berdekatan -tidak sampai menempel- hingga tidak ada setan yang dapat masuk “menyelinap” (mengganggu) ke dalam rangkaian shaf itu yang ukurannya seperti sebesar Al-Hadzaf (anak kambing kecil).

Syaikh Hassan as-Saqqaf hafizhahullah menjelaskan,

قلت: وقع في رواية أبي داود (١٧٩/١) بإسناد صحيح « وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ » ويستفاد منها استحباب بل وجوب الرفق وعدم الدع وهو الدفع العنيف، وكذا لا يجوز أيضاً أن يدفع الرجل من يصلي بجنبه ولو دفا خفيفا، أو يضايقه بل يحرم إيذاؤه، فإنا إيذاء المسلم حرم

Artinya, “Saya katakan: Terdapat dalam riwayat Abu Dawud, [1:179] dengan sanad yang shahih, ‘Dan berlemah lembutlah terhadap tangan saudaramu’, faidah dari riwayat ini adalah disukainya bahkan diwajibkan bersikap lemah lembut dan tidak mendorong -yakni mempersempitnya dengan kasar.  Maka dari itulah, tidak diperbolehkan pula mempersempit seseorang yang shalat di samping kita, meskipun sempit-nya itu hanya sedikit, atau (bahkan) membatasi (ruang gerak) nya. Bahkan hukumnya haram bila kita menyakiti mereka, karena tidak lemah lembut kepada seorang muslim hukumnya haram”. (Shahih Shifatu Shalah an-Nabi, [hal. 62]).

Jadi, pemahaman yang benar perihal shaf ini ialah kita diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyempurnakannya dengan benar-benar meluruskannya, menegakkannya, dan merapatkannya dengan berdekatan agar tak ada celah kosong dalam shaf -namun bukan sampai menempelkan dan melekatkan kaki atau tangan atau pundak kita dengan orang di sebelah kita-, serta disukainya melunakkan pundak kita dengan orang di sebelah kita dengan tidak mempersempit ruang geraknya dalam shaf, yang mana hal itu haram hukumnya, karena termasuk perbuatan menyakitinya.

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq. 

LEBIHAN SELALU DISEBUT RIBA ?

Akhir-akhir ini banyak orang salah persepsi mengenai riba. Saya juga sempat menonton video di Youtube sebagaimana dijelaskan oleh Cak Nun hafizhahullah bahwa lebihan yang diberikan bersamaan dengan pelunasan utang iti tidak bisa langsung disebut riba, kecuali bila disyaratkan sebelumnya, dan ada beberapa website yang menanggapi ucapan Cak Nun tersebut bahwa Cak Nun telah salah, serta mereka malah mengatakan bahwa segala tambahan apapun dalam transaksi tetap disebut Riba, Benarkah? Oke mari kita bahas.

Dasar hukum dari Riba ialah firman Allah,

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu karena mereka berkata (berpendapat) bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba” (QS. Al Baqarah/ 2: 275)

Definisi riba kemudian disampaikan Imam Ibnul Mundzir rahimahullah yakni,


وأجمعوا على أن السلف إذا شرط عقد السلف هدية أو زيادة، فأسلفه على ذلك، أن أخذه الزيادة على ذلك ربا

Artinya, “Para ulama sepakat bahwa bila si pemberi pinjaman utang memberi syarat saat akad kepada yang dipinjami utang sebagai hadiah atau tambahan, lalu ia meminjamkannya lalu mengambil tambahan (setelah utangnya dilunasi) tersebut, maka itu adalah Riba. (Al-Isyraf ‘ala Madzahibil Ulama, [6:142])

Jadi yang dimaksud Riba ialah suatu tambahan yang dipersyaratkan oleh pemberi pinjaman utang kepada yang dipinjami, agar orang yang dipinjami itu ketika mengembalikan pinjaman utang beserta dengan lebihan/ tambahan yang diminta oleh si pemberi pinjaman.

Adapun mengenai hadits, 

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

Artinya, “Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian ialah yang paling bagus dalam melunasi (utang)” (HR. Al-Bukhari, no. 2393 dan Muslim, no. 1601 dalam Shahih keduanya)

Maksud hadits itu ialah kita melunasi utang kita dengan mengembalikannya lewat cara dan sesuatu yang lebih baik, misal dengan melebihkan. Tapi melebihkan di sini kan belum disyaratkan oleh si pemberi pinjaman utang, dalam artian lebihan yang kita berikan bersama dengan pelunasan utang adalah berdasarkan inisiatif kita sendiri sebagai peminjam utang. 

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, 

وَفِيهَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ مِنْ قَرْضٍ وَغَيْرِهِ أَنْ يَرُدَّ أَجْوَدَ مِنَ الَّذِي عَلَيْهِ وَهَذَا مِنَ السُّنَّةِ وَمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ وَلَيْسَ هُوَ مِنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَإِنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْهُ لِأَنَّ الْمَنْهِيَّ عَنْهُ مَا كَانَ مَشْرُوطًا فِي عَقْدِ الْقَرْضِ وَمَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ الزِّيَادَةُ فِي الْأَدَاءِ عَمَّا عَلَيْهِ وَيَجُوزُ لِلْمُقْرِضِ أَخْذُهَا سَوَاءٌ زَادَ فِي الصِّفَةِ أَوْ فِي الْعَدَدِ بِأَنْ أَقْرَضَهُ عَشَرَةً فَأَعْطَاهُ أَحَدَ عَشَرَ

Artinya, “Dalam hadits ini dianjurkan bagi siapa yang mempunyai kewajiban berupa utang dan lainnya, hendaknya ia mengembalikan yang lebih baik dari yang ia pinjam dan ini adalah termasuk sunnah dan akhlak yang mulia, dan ini bukan termasuk dari utang yang ditarik manfaat darinya (Riba), karena hal tersebut itu dilarang, karena yang dilarang adalah yang terlebih dahulu disyaratkan di dalam akad utang piutang, dan menurut madzhab kami (madzhab Syafi’i) adalah dianjurkan tambahan di dalam pelunasan apa yang menjadi kewajibannya, dan boleh bagi yang mengutangi untuk mengambilnya baik itu tambahan di dalam sifatnya atau dalam jumlah bilangan, sepeti ia mengutangi 10 kemudian diberikan (kembali) kepadanya 11”. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, [11:37])

Semakna, Imam al-Qurthubi rahimahullah dari kalangan madzhab Maliki juga mengatakan, 

وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ نَقْلًا عَنْ نَبِيِّهِمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ اشْتِرَاطَ الزِّيَادَةِ فِي السَّلَفِ رِبًا وَلَوْ كَانَ قَبْضَةً مِنْ عَلَفٍ- كَمَا قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ- أَوْ حَبَّةً وَاحِدَةً. وَيَجُوزُ أَنْ يَرُدَّ أَفْضَلَ مِمَّا يَسْتَلِفُ إِذَا لَمْ يَشْتَرِطْ ذَلِكَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ بَابِ الْمَعْرُوفِ، اسْتِدْلَالًا بِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي الْبِكْرِ:" إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً" رَوَاهُ الْأَئِمَّةُ: الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا. فَأَثْنَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَنْ أَحْسَنَ الْقَضَاءَ، وَأَطْلَقَ ذَلِكَ وَلَمْ يُقَيِّدْهُ بِصِفَة

Artinya, “Dan kaum muslimin telah bersepakat telah mengutipkan dari Nabi mereka –shallallahu ‘alaihi wasallam– bahwa mensyaratkan tambahan di dalam hutang adalah Riba, meskipun hanya segenggam tepung –sebagaimana dikatakan Ibnu Mas’ud– , atau walau hanya satu biji. Dan diperbolehkan mengembalikan lebih baik dari apa yang dipinjam –bila tidak disyaratkan hal tersebut padanya– , dikarenakan perbuatan itu (mengembalikan dengan yang lebih baik) termasuk dalam hal-hal kebaikan. Sisi pendalilannya ialah dengan hadits Abu Hurairah mengenai unta muda, ‘Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian ialah yang paling bagus dalam melunasi utang’, diriwayatkan para imam: Al-Bukhari, Muslim, dan selain keduanya. Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memuji atas perbuatan bagus seseorang yang melunasi utangnya, dan beliau memutlakkan hal itu tanpa membatasinya dengan suatu sifat.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [3:241])

Semoga mulai saat ini kita tidak salah persepsi lagi mengenai tambahan yang tiba-tiba diberikan oleh orang yang kita pinjami utang, dengan menganggap tambahan/ lebihan itu sebagai Riba, padahal tambahan/ lebihan itu tidak kita persyaratkan kepadanya saat dia berutang. 

Wallahu A’lam Bishshawab

MENDIRIKAN BANGUNAN DI ATAS KUBURAN DALAM PANDANGAN MADZHAB SYAFI’I

Masalah yang kian populer di kalangan masyarakat yakni perkara kijing, yakni melakukan pemugaran/ mendirikan bangunan di atas kubur. Kemudia...