Senin, 01 Juli 2019

SIFAT SHALAT NABI: MERAPATKAN SHAF KETIKA SHALAT, PERLUKAH MENEMPELKANNYA?

Seringkali kita dapati beberapa orang dan beberapa artikel menyatakan bahwa yang namanya shaf rapat saat shalat ialah dengan menempelkan kaki dan bahu dengan orang di sebelahnya, benarkah demikian?

Mari perhatikan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berikut,

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Artinya, “Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, ‘Luruskan-lah shaf kalian, karena aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku’. Maka sesungguhnya aku melihat ada salah seorang dari kami yang menempelkan bahunya dengan bahu orang sebelahnya dan kakinya dengan kaki orang sebelahnya”. (HR. Al-Bukhari, [1:146, no. 725] dalam Shahihnya)

Kemudian dalam riwayat lain terdapat tambahan,

لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ، وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ

Artinya, “Saya telah melihat salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu temannya (orang yang di sebelahnya) dan kakinya dengan kaki temannya. Dan seandainya hari ini kami melakukan hal itu (menempelkan bahu dan kaki) lagi, sungguh kamu akan melihat salah satu dari mereka seperti keledai yang melawan (berontak)”. (HR. Abu Ya’la, [6:381, no. 3720] dalam Musnadnya).

Di situ sangat tegas bahwasanya orang-orang yang tetap bersikeras ingin sekali menempelkan kaki dengan kaki orang sebelahnya, maka akan membuat orang sebelahnya itu tidak nyaman, digambarkan sebagaimana keledai yang melawan/ berontak. Padahal perintah yang ditekankan sekaligus tujuan awalnya adalah agar shaf tersebut benar-benar lurus, tegak, dan seimbang. Sedangkan mengenai menempelkan dalam hadits itu, hanyalah mubalaghah (ungkapan hiperbolis/ majaz) yang tujuannya agar shaf dapat lurus dan mengisi celah, sehingga tidak ada kerenggangan. Demikian Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menjelaskan, 

بَابُ إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ) الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

Artinya, “Bab: Menempelkan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki dalam shaf; maksud dari hal itu (menempelkan bahu dan kaki) ialah sebagai mubalaghah (ungkapan hiperbolis) agar shaf dapat lurus dan mengisi celah (agar shaf tidak kosong)”. (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, [2:211])

Kemudian dalam riwayat yang lainnya bahwa Rasulullah bersabda, 

خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاةِ

Artinya, “Yang terbaik dari kalian adalah kalian lunakkan pundak-pundak kalian dalam shalat”. (HR. Abu Dawud, [2:11, no. 672] dalam Sunannya, Syaikh Syu’aib al-Arnauth menilai hadits hasan lighairihi).

Maksud melunakkan pundak dalam hadits itu bukan berarti harus saling menempelkan pundaknya dengan pundak orang di sebelahnya, melainkan maknanya ialah jangan sampai pundak kita berdesakan dengan pundak orang di sebelah kita, sehingga membuat orang itu sempit. Imam al-Munawi rahimahullah menjelaskan, 

أي ألزمكم للسكينة والوقار والخشوع والخضوع فيها فلا يلتفت ولا يحاشر منكبه منكب صاحبه

Artinya, “Yakni wajib bagi kalian untuk tenang, ber-besar hati,  khusyuk, dan rendah hati dalam shalat. Maka janganlah menoleh (dalam shalat) dan janganlah pundaknya sampai berdesakan dengan pundak temannya (orang sebelahnya)”. (Faidhul Qadir Syarh al-Jami’ush Shaghir, [3:466]).

Lebih-lebih dalam hadits lain, Rasulullah hanya memerintahkan agar shaf itu berdekatan saja, sekedar berdekatan, bukan sampai menempelkan kaki dan bahu,

رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

Artinya, “Rapatkan shaf-shaf kalian dan dekatkanlah di antaranya, serta sejajarkanlah antara leher-leher. Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya saya melihat setan dapat masuk ke dalam celah-celah shaf itu, tak ubahnya bagai al-Hadzaf”. (HR. Abu Dawud, [2:9, no. 667] dalam Sunannya, Syaikh Syu’aib al-Arnauth menilai sanadnya shahih).

Apa itu al-Hadzaf? 

Imam al-Khaththabi rahimahullah mengatakan, 

والحذف غنم سود صغار

Artinya, “Al-Hadzaf ialah anak kambing yang kecil”. (Ma’alimus Sunan, [1:184]).

Maksud hadits, dalam perkara shaf ini, Rasulullah memerintahkan kepada kita agar shaf itu berdekatan -tidak sampai menempel- hingga tidak ada setan yang dapat masuk “menyelinap” (mengganggu) ke dalam rangkaian shaf itu yang ukurannya seperti sebesar Al-Hadzaf (anak kambing kecil).

Syaikh Hassan as-Saqqaf hafizhahullah menjelaskan,

قلت: وقع في رواية أبي داود (١٧٩/١) بإسناد صحيح « وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ » ويستفاد منها استحباب بل وجوب الرفق وعدم الدع وهو الدفع العنيف، وكذا لا يجوز أيضاً أن يدفع الرجل من يصلي بجنبه ولو دفا خفيفا، أو يضايقه بل يحرم إيذاؤه، فإنا إيذاء المسلم حرم

Artinya, “Saya katakan: Terdapat dalam riwayat Abu Dawud, [1:179] dengan sanad yang shahih, ‘Dan berlemah lembutlah terhadap tangan saudaramu’, faidah dari riwayat ini adalah disukainya bahkan diwajibkan bersikap lemah lembut dan tidak mendorong -yakni mempersempitnya dengan kasar.  Maka dari itulah, tidak diperbolehkan pula mempersempit seseorang yang shalat di samping kita, meskipun sempit-nya itu hanya sedikit, atau (bahkan) membatasi (ruang gerak) nya. Bahkan hukumnya haram bila kita menyakiti mereka, karena tidak lemah lembut kepada seorang muslim hukumnya haram”. (Shahih Shifatu Shalah an-Nabi, [hal. 62]).

Jadi, pemahaman yang benar perihal shaf ini ialah kita diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyempurnakannya dengan benar-benar meluruskannya, menegakkannya, dan merapatkannya dengan berdekatan agar tak ada celah kosong dalam shaf -namun bukan sampai menempelkan dan melekatkan kaki atau tangan atau pundak kita dengan orang di sebelah kita-, serta disukainya melunakkan pundak kita dengan orang di sebelah kita dengan tidak mempersempit ruang geraknya dalam shaf, yang mana hal itu haram hukumnya, karena termasuk perbuatan menyakitinya.

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENDIRIKAN BANGUNAN DI ATAS KUBURAN DALAM PANDANGAN MADZHAB SYAFI’I

Masalah yang kian populer di kalangan masyarakat yakni perkara kijing, yakni melakukan pemugaran/ mendirikan bangunan di atas kubur. Kemudia...